0

Batik yang Mendunia

 Presiden Soeharto bersama Presiden Reagen memakai batik dalam suasana informal. Sumber foto: Perpusnas.go.id

Presiden Soeharto memiliki kontribusi terbesar bagi sejarah popularitas batik di mata dunia. Karena jasa-jasanya selama ini, tak sedikit pelaku usaha di sektor ini menyebut presiden kedua ini sebagai “Pahlawan Batik”.

Tentu tak berlebihan Indonesia mendaku, batik ialah budaya adiluhung yang mewakili identitas Indonesia di mata dunia. Dalam selembar kain batik bukan saja terpotret identitas budaya lokal dan sejarah daerah tertentu, misalnya Yogyakarta dan Solo, akan tetapi lebih jauh juga sudah terpatri citra dan identitas nasional Indonesia.

Ya, batik ialah salah satu national branding Indonesia. Terlebih sejak 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, UNESCO telah menetapkan batik sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity.

Awalnya, batik diidentikkan sebagai kain tradisional Nusantara. Batik merupakan kerajinan asli yang banyak ditemui di berbagai wilayah Indonesia, seperti Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Madura, Tasikmalaya, dan Cirebon. Bahkan di daerah Sumatra dan Kalimantan juga terdapat para perajin batik. Setidaknya 23 provinsi di Indonesia memiliki batik dengan corak kekhasan lokalnya sendiri.

Bicara popularitas batik di dunia ialah hasil dari proses kesejarahan yang panjang. Batik mulai dikenal dunia sejak terbitnya The History of Java karya Thomas Stamford Raffles di tahun 1817. Namun risalah batik yang nisbi komplet baru bisa dibaca masyarakat dunia semenjak De Batik-kunst In Nederlandsch-indie En Haar Geschiedenis karya dua antropolog Belanda, GP Rouffaer dan HH Juynboll, terbit pada 1899.

Merujuk Denys Lombard, kerajinan batik sebagai prototipe industri telah mulai tercatat muncul di Jawa sejak paruh kedua abad ke-19. Namun seiring meningkatnya popularitas batik di mata dunia, kini terlihat seni tradisi ini telah berkembang menjadi industri modern. Jangkauan sebaran pemakainya tak lagi sebatas pasar domestik melainkan juga hingga ke mancanegara.

Ini setidaknya terlihat dari kiprah para desainer Indonesia di kancah fesyen internasional. Sebutlah nama Oscar Lawalata, Denny Wirawan, Edward Hutabarat, Iwan Tirta, atau Ghea Panggabean, misalnya, mereka dikenal luas sebagai desainer papan atas di tingkat dunia yang sering menggunakan batik sebagai material utama pada desain karya-karyanya.

Bahkan bagi desainer papan atas dunia, kini bukanlah aneh jika mereka terlihat berkreasi dengan batik. Ambil contoh Dries van Noten atau Nicole Miller, misalnya. Dries van Noten dalam Spring Collection 2010 di Paris Fashion Week tercatat menggunakan motif batik. Sedangkan Nicole Miller dalam Resort Collection 2009, terlihat satu desainnya menggunakan batik motif mega mendung.

Popularitas batik tampaknya kian tak terbendung, setelah para selebriti dunia tertangkap kamera mengenakan baju batik. Sebutlah nama seperti Paris Hilton, Julia Roberts, Rachel Bilson, vokalis Judas Priest Rob Halford, dan sebagainya. Tak kecuali pendiri Microsoft Bill Gates pun pernah hadir dalam forum bergengsi dengan mengenakan kemeja batik.

Implikasinya bukan saja batik semakin dicintai oleh pasar domestik. Tapi, dari tahun ke tahun kini angka ekspor batik juga cenderung meningkat. Pemerintah mencatat nilai ekspor batik dan produk batik di sepanjang 2017 mencapai sebesar USD58,46 juta. Meski sedikit berkurang karena situasi ekonomi global cenderung melambat, di sepanjang 2018 nilai ekspor komoditas ini masih tercatat mencapai USD52,4 juta. Bicara negara tujuan pasar utama batik ialah Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.

Dari Soekarno hingga Jokowi

Bicara proses mendunianya batik jelas merupakan buah kolaborasi antara pemerintah dan stakeholder terkait untuk mempromosikan batik secara intensif dan berkesinambungan. Marilah disimak catatan perihal upaya pemerintah mempopularkan batik di mata dunia.

Seperti nanti terlihat, awalnya popularitas batik sengaja disemai semata dengan tujuan mengkontruksi identitas nasional. Namun sejalan perkembangan dinamika, tampak jelas pemerintah pun bermaksud mendongkrak popularitas batik di mata dunia. Selain karena melihat tingginya apresiasi masyarakat dunia juga potensi komoditas ini tak muskil jadi produk unggulan Indonesia.

Tentu saja Presiden Soekarno patut disinggung, sekalipun foto-foto presiden pertama ini nisbi tidak pernah terlihat mengenakan baju batik. Sosok yang sangat gandrung membangun idealisme persatuan bagi bangsanya ini, tercatat pernah memprakarsai penciptaan motif batik yang membawa pesan persatuan Indonesia.

Bercita-cita merangkum pesan persatuan bangsa dalam selembar kain batik, itulah ide Bung Karno. Ide ini disampaikan Bung Karno saat bertemu seniman batik asal Solo. Go Tik Swan, atau juga dikenal dengan nama Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Hardjonagoro, diminta mewujudkan ide tersebut.

Maka lahirlah desain “Batik Indonesia.” Demikianlah Go Tik Swan menamai desain batik ciptaannya, sesuai pesan Soekarno. Menariknya, ciri khas Batik Indonesia ini dapat dikatakan bukanlah desain batik bercorak gaya Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Lasem, dan lain-lainnya, tetapi merupakan gabungan dari corak dan gaya batik dari seluruh Indonesia.

Batik Indonesia bukan saja merupakan perpaduan corak tapi juga perpaduan banyak warna. Batik ini sering dikatakan sebagai bercorak multiwarna, sebagai perpaduan antara warna batik Solo yang didominasi hitam dan cokelat dengan batik pesisiran yang didominasi warna cerah.

Menurut laman indonesiabatik.id Go Tik Swan setidaknya telah menciptakan 200 motif. Rengga PuspitaSawunggaling, atau Kembang Bangah Kuntul Nglayang, misalnya, ialah beberapa nama motif batik ciptaan Go Tik Swan. Selain populer di kalangan kolektor batik, Batik Indonesia karya Go Tik Swan juga dicatat sejarah telah memperkaya khazanah motif batik di Indonesia.

Presiden Soeharto sudah tentu memiliki kontribusi terbesar bagi sejarah popularitas batik. Tak sedikit pelaku usaha di sektor ini, bahkan menyebut presiden kedua sebagai “Pahlawan Batik.” Sayangnya tak satupun tulisan utuh pernah ditulis orang terkait peranan ini. Kebanyakan tulisan seputar sejarah peranannya memajukan dunia batik masih sebatas serpihan-serpihan peristiwa.

Konon, salah satu pemantik greget Soeharto untuk mendorong popularitas batik ialah kebijakan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Terpengaruh oleh seniman kaligrafi batik berasal dari Yogyakarta, Amri Yahya, Ali Sadikin pada 14 Juli 1972 menetapkan batik sebagai pakaian resmi untuk pria di wilayah DKI Jakarta.

Seolah meneguhkan cita-citak Bung Karno, sejak kebijakan Bang Ali itulah batik tidak hanya sebagai bernilai obyek komoditi, tapi praktis juga secara resmi menjadi simbol budaya dalam pencarian identitas bangsa. Pak Harto, demikian biasa dipanggil, seolah terinspirasi kebijakan Gubernur DKI Ali Sadikin itu. Lantas, bergerak lebih jauh ia mendorong proses internalisasi identitas nasional melalui simbol batik.

Terlepas kuatnya tendensi “politik seragamisasi,” apa yang sohor dikenal sebagai “Seragam Korpri” ialah implementasi dari ide Soeharto untuk menempatkan batik sebagai simbol dari identitas nasional. Aming Prayitno, seniman lukis, ialah desainer logo Korpri. Logo ini lalu di-batik-kan secara “cap” atau printing, dan kemudian dipakai sebagai pakaian wajib PNS dalam tugas sehari-hari mereka.

Dalam banyak kesempatan menyambut kunjungan tamu kenegaraan, Presiden Soeharto hampir selalu mengenakan kameja batik. Bicara cinderamata Indonesia, batik sering dipilih sebagai gift bagi para tamu negara. Sejauh ini ada beberapa momen peristiwa yang penting dicatat.

Pertama, pada 1986 Presiden AS Ronald Reagan mengadakan kunjungan tak resmi selama empat hari di Bali dalam rangka menghadiri KTT ASEAN. Dalam momen itu Presiden AS ke-40 beserta istri hadir pada jamuan malam mengenakan baju batik. Presiden Reagan mengenakan kameja batik dengan motif Sidoluhur, sedangkan first lady mengenakan baju batik merah cerah. Iwan Tirta ialah perancang batik bagi orang nomor satu di AS ini.

Kedua, pemberian cinderamata batik kepada Nelson Mandela pada 1990. Ini ialah momen perkenalan pertama Mandela dengan batik. Ketika itu, dia masih menjabat sebagai wakil ketua Kongres Nasional Afrika. Pada 1997 Mandela mengenakan batik itu kembali ketika datang kembali ke Indonesia, sebagai Presiden Afrika Selatan.

Sejak itulah pejuang apartheid yang tersohor itu boleh dikata benar-benar jatuh cinta pada batik. Dalam acara kenegaraan di berbagai forum baik nasional maupun internasional, bahkan tak terkecuali dalam sidang di forum PBB sekalipun, Mandela selalu terlihat hadir mengenakan kameja batik.

Masyarakat Afrika Selatan sendiri menyebut kameja batik Mandela, “Madiba shirts.” Madiba adalah nama klan dari Mandela. Yusuf Surtee, seorang pemasok pakaian untuk Mandela selama beberapa dekade, mengatakan bahwa desain Madiba ini ialah permintaan Mandela didasarkan pada model kemeja seperti yang pernah diberikan Presiden Suharto dulu.

Ketiga, puncak dari semua itu terjadi pada tahun 1994. Saat Indonesia untuk pertama kali jadi ketua dan tuan rumah KTT APEC. Dalam kesempatan itu batik menjadi dress code. Kembali Iwan Tirta dipilih sebagai desainer untuk membuat 18 motif batik untuk 18 kepala negara peserta APEC, termasuk Indonesia, sesuai warna budaya negara masing-masing dengan kombinasi sentuhan corak batik etnis Jawa.

Strategi Presiden Soeharto banyak ditiru oleh para presiden sesudahnya. Fase pengusulan batik masuk daftar World Heritage di UNESCO dan keberhasilan batik memperoleh predikat Intangible Cultural Heritage of Humanity, terjadi di era Presiden SBY. Perjuangan ini tentu tak mudah, mengingat Malaysia saat itu tengah mengklaim batik sebagai berasal dari budaya mereka. Seiring keberhasilan itu Presiden SBY pulalah, yang menetapkan tiap 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.

Tak hanya itu. Di sepanjang satu dasawarsa pemerintahan SBY juga banyak digelar forum di tingkat regional maupun multilateral, yang menempatkan Indonesia sebagai tuan rumah. Sebutlah KTT ASEAN ke-19 dan KTT Asia Timur (East Asia Summit) di tahun 2011, posisi Indonesia jadi tuan rumah. Ini membawa konsekuensi pada pemakaian kain batik sebagai dress code.

Presiden Joko Widodo pun segera menapaktilasi jejak langkah presiden sebelumnya. Presiden Jokowi mengenakan kemeja batik bercorak parang dalam KTT APEC di Beijing, Cina, pada 2014. Tak kecuali pada perhelatan forum Annual Meeting IMF – World Bank di Bali pada Oktober 2018, Presiden Jokowi pun kembali menggunakan batik sebagai dress code pada acara tersebut.

Dan terakhir tentu saja ialah terjadinya “diplomasi batik” pada sidang DK PBB di New York. Dipilihnya batik sebagai dress code merupakan bentuk penghormatan para anggota DK PBB kepada Indonesia selaku Presidensi DK PBB untuk bulan Mei 2019. Pada momen itu Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bahkan menyempatkan hadir menggunakan batik.

Penting dicatat sebagai penutup. Menyimak perjalanan dinamika perkembangan batik, di sini bisa disimpulkan: dalam dunia batik telah muncul fenomena—meminjam istilah khasanah sosiologi— ‘glokalisasi,’ yaitu perkawinan antara ‘yang-global’ dan ‘yang-lokal’ yang kemudian membentuk budaya batik kontemprer sebagai wujud budaya hibriditas global.

Berawal dari fungsi batik sebagai identitas simbolik di tingkat nasional atau lokal, maka perlahan-lahan namun pasti kini batik mulai diterima oleh masyarakat dunia dan terbentuk sebagai bagian dari identitas budaya global.

Dalam budaya batik kontemporer, antara ‘yang-global’ dan ‘yang-lokal’ masing-masing tidaklah saling mendominasi di satu sisi dan atau mensubordinasi di sisi lain. Sebaliknya justru terlihat adanya sinergisitas yang saling memperkaya satu dengan lainnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

0
X